Tak temukan kata tuk awal
tentang sebuah ungkapan
seakan hanya terbentang aral
melintang menutupi lisan
terpojok oleh kelam
meski hanya semudah ucap salam
tapi terbungkam kian menusuk ke dalam
yang mulai tersingkap oleh malam
tapi masih enggan pada kalam
pernyataan pilu adanya
yang menuntut dilema
kian berkemelut
dalam dan smakin kelut
terbayang indah harum
dalam jarak tatapan
yang ingin terlontar dari lisan
tapi bertolak dari perasaan
dan hanya berbuah senyum
mencoba melirik pada rembulan
tak sempurna namun indah
walau sepi tiada bintang
tegar menghiasi pandang
iri pun sempat membisik indahnya
cambuk hati menyaingi kilaunya
***
entah sekian kalinya kubuka jendela
demi melirik langkahnya
harap melintas meski berbatas
cukupi dahaga panas
sempat diujung lisan
tapi cukup hanya tertahan
meski tahu adanya berdampingan
tapi kerlingan pertamanya tak bisa terelakkan
dan pernyataan lain tulus mengingatkan
adanya sebuah jalan
yang tak harus bersama terlewatkan
meski di sudut sendiri
cukuplah hanya memandangi
dan hirup bau wangi
yang dihantar oleh angin sepoi
meski tertusuk rasa sepi
dan smoga angin malam mengerti
***
maaf sesal kan kekal
mengakui kesalahan fatal
membiarkan hati jadi liar
menelusuri ruang tanpa sinar
maaf kutitipkan bersama sang fajar
karena lisan tlah tak berani ungkapkan
dalamnya rasa halangi tangan
coretkan sesaat tentangnya
berharap sebuah pengertian
dan diterimanya semua ungkapan
masih tak ku ungkiri dalamnya
masih tak elakkan luasnya
tapi apa oleh hati berkata
meski dengan akal tak senada
dan tak banyak bisa terucap
karena vonis salah kian mengecap
jika panjang kan hanya ada kata sesal
sungguh ku akui sebuah kesalahan
***
dan kini duduk terdiam
serahkan semua pada Pemilik alam
berharap tak seburuk kelam
yang kini menyelimutiku bersama malam
harapan terucap apa adanya
smoga angin menyampaikan tepat di telinganya
keduanya
bagaimana adanya
dan berharap diterima apa adanya
diriku apa adanya
-Pujangga Liar-
ditulis di pojok balkon kampung 10, salah satu sudut segitiga, 13 agustus '09. 01.50 clt.
Sabtu, 27 Maret 2010
Sebuah Cerita Untuk Sang Malam
Tanganku bergetar sepanjang hari ini, kala lirik jarum jam menuding arah 12 tepat. Sebuah keinginan yang tersekat sekian ribu dinding serasa mulai menggetarkan jari, bahkan sekedar menulis huruf-huruf "aku" pun hendak enggan.
Entah tentang siapa coretan ini tertulis. Tercurah begitu saja hendak hati dan angan. Angan yang sempat beranjak dari pijakan. Kini seakan tersungkur dalam buaian. Bukan sebuah ungkapan kekecewaan, hanya mencoba salurkan hasrat terpendam dan terdalam, yang diselimuti ketakutan di setiap malam, hingga berujung pada letupan.
Sebuah rasa decak kagum baru terkuak, sadari indah skenarioNya, jawaban atas tanya. Meski belum seluruhnya. Sebuah episode dramatik kisah tentang perjalanan.
Dari sebuah sisi cerita ini berawal, kian melebar, ciptakan sisi-sisi lain yang masih terus mencoba melihat dari masing-masing. Dan kini tlah berhias entah berapa banyak hiasan rasa, implementasi luapan tiap sisinya.
Yang sebenarnya sebuah tujuan sederhana dari keinginan, sebuah titik terang di ujung sana. Tapi alur skenarioNya kini semakin semarakkan di tiap tikungan.
Ada satu sisi yang melihat dengan pandangan penuh rasa, pandangan, lisan dan tulisan kini tlah mulai beranikan tuk merangkai sebuah ungkapan. Mencoba tiada gentar, tak hiraukan yang halangi pandang. Meski dengan bantuan sang angin malam. Meski sang angin malam lebih dahulu mengerti titik terang tujuan. Tapi angin malam pun tak bergoyah dari sisi dia bertahan. Dan kian mengerti akan tujuan. Tapi janji sang angin malam, mencoba pertaruhkan semua pada sang malam dan sampaikan tiap inci rasa yang diungkap di kala malam. Menghias alur cerita ini. Dan entah apa yang berada dalam benak sang angin malam.
Dan di suatu sisi yang lain. Mencoba mengamati, dan berkawan dengan angin malam. Bak sebuah jembatan membentang di atas sungai yang begitu luas. Hantarkan tiap orang yang hendak menuju seberang. Meski tak diketahui seberapa kuatnya akan bertahan. Mencoba tetap tegar dengan gilasan langkah energic dari tiap rasa yang ingin menuju tujuan di seberang. Meski kadang ingin berteriak akan angan, tapi cukup dengan bisikan pada angin malam. Bertahan dari segala bentuk gilasan derap langkah yang meski kadang pancing letikan api amarah. Dan bisikan angin malam bukan halangi langkahnya, tapi hanya mencoba redam dalam sesuatu yang terdalam. Endapkan tiap letupan yang hendak tercurah dalam lisan dan tulisan. Seakan begitu mengerti akan sebuah tujuan, meski masih gelap serasa pandang langkah ke depan. Membuat segalanya cukup terpendam nan tak berberbekas. Meski tiap detik ada bisikan penggoda dari kerlingan bintang malam tentang terangnya titik tujuan. Tapi mengerti akan tujuan membuatnya memilih tuk tak bergeming dari pijakan rasanya. Mencoba puaskan diri dengan pandangi kerlingan indah terangnya.
Dan tanpa terasa, seiring putaran jarum jam yang masih begitu setia hentakkan tiap detik putaran bumi. Semua seakan melebur meski tak bercampur dari tiap sisinya. Tetap teguh dengan masing-masingnya. Mencoba masing-masing gapai raih tujuan dalam angan. Meski tujuan kini beranjak dari peraduan.
Dan kini, hanya tersisa pandangan, angan, dan senyuman. Berharap semua kan berujung pada kedamaian.
Entah tentang siapa coretan ini tertulis. Tercurah begitu saja hendak hati dan angan. Angan yang sempat beranjak dari pijakan. Kini seakan tersungkur dalam buaian. Bukan sebuah ungkapan kekecewaan, hanya mencoba salurkan hasrat terpendam dan terdalam, yang diselimuti ketakutan di setiap malam, hingga berujung pada letupan.
Sebuah rasa decak kagum baru terkuak, sadari indah skenarioNya, jawaban atas tanya. Meski belum seluruhnya. Sebuah episode dramatik kisah tentang perjalanan.
Dari sebuah sisi cerita ini berawal, kian melebar, ciptakan sisi-sisi lain yang masih terus mencoba melihat dari masing-masing. Dan kini tlah berhias entah berapa banyak hiasan rasa, implementasi luapan tiap sisinya.
Yang sebenarnya sebuah tujuan sederhana dari keinginan, sebuah titik terang di ujung sana. Tapi alur skenarioNya kini semakin semarakkan di tiap tikungan.
Ada satu sisi yang melihat dengan pandangan penuh rasa, pandangan, lisan dan tulisan kini tlah mulai beranikan tuk merangkai sebuah ungkapan. Mencoba tiada gentar, tak hiraukan yang halangi pandang. Meski dengan bantuan sang angin malam. Meski sang angin malam lebih dahulu mengerti titik terang tujuan. Tapi angin malam pun tak bergoyah dari sisi dia bertahan. Dan kian mengerti akan tujuan. Tapi janji sang angin malam, mencoba pertaruhkan semua pada sang malam dan sampaikan tiap inci rasa yang diungkap di kala malam. Menghias alur cerita ini. Dan entah apa yang berada dalam benak sang angin malam.
Dan di suatu sisi yang lain. Mencoba mengamati, dan berkawan dengan angin malam. Bak sebuah jembatan membentang di atas sungai yang begitu luas. Hantarkan tiap orang yang hendak menuju seberang. Meski tak diketahui seberapa kuatnya akan bertahan. Mencoba tetap tegar dengan gilasan langkah energic dari tiap rasa yang ingin menuju tujuan di seberang. Meski kadang ingin berteriak akan angan, tapi cukup dengan bisikan pada angin malam. Bertahan dari segala bentuk gilasan derap langkah yang meski kadang pancing letikan api amarah. Dan bisikan angin malam bukan halangi langkahnya, tapi hanya mencoba redam dalam sesuatu yang terdalam. Endapkan tiap letupan yang hendak tercurah dalam lisan dan tulisan. Seakan begitu mengerti akan sebuah tujuan, meski masih gelap serasa pandang langkah ke depan. Membuat segalanya cukup terpendam nan tak berberbekas. Meski tiap detik ada bisikan penggoda dari kerlingan bintang malam tentang terangnya titik tujuan. Tapi mengerti akan tujuan membuatnya memilih tuk tak bergeming dari pijakan rasanya. Mencoba puaskan diri dengan pandangi kerlingan indah terangnya.
Dan tanpa terasa, seiring putaran jarum jam yang masih begitu setia hentakkan tiap detik putaran bumi. Semua seakan melebur meski tak bercampur dari tiap sisinya. Tetap teguh dengan masing-masingnya. Mencoba masing-masing gapai raih tujuan dalam angan. Meski tujuan kini beranjak dari peraduan.
Dan kini, hanya tersisa pandangan, angan, dan senyuman. Berharap semua kan berujung pada kedamaian.
- pujangga liar, 29 08 09. 02:43 clt. Di pojok balkon kampung 10, salah satu sudut segitiga.
- spesial thanks 4 the inspirators....
the hope'll not die...
Selasa, 23 Maret 2010
Keliaranku
Buaian diantara nikmat dunia
Melenakan akal dan hati
Pertajam nafsu
Bertelur keliaran diri
Satu sisi tanpa kendali
Berlari kencang tapa dikenali
Menerobos norma tanpa permisi
Tapi bukan ini keliaran dalamku
Hentakan cerca
Hantaman cemooh
Terpaan makian
Mengendap seakan damai dalam hati
Mengunci lidah hati
Seakan menulikan telinga
Bisukan lisan
Bukan berarti tanpa perlawanan
tanpa pemberontakan
tetesan tinta inilah...
yang menetes langsung dari hati
Ungkap keliaran akanku
Terkadang dimaknai ganas
Buat keliaran makin panas
Yang peerlahan meletup
Entah mungkin akan meledak
pujangga liar, 23 April 09
Melenakan akal dan hati
Pertajam nafsu
Bertelur keliaran diri
Satu sisi tanpa kendali
Berlari kencang tapa dikenali
Menerobos norma tanpa permisi
Tapi bukan ini keliaran dalamku
Hentakan cerca
Hantaman cemooh
Terpaan makian
Mengendap seakan damai dalam hati
Mengunci lidah hati
Seakan menulikan telinga
Bisukan lisan
Bukan berarti tanpa perlawanan
tanpa pemberontakan
tetesan tinta inilah...
yang menetes langsung dari hati
Ungkap keliaran akanku
Terkadang dimaknai ganas
Buat keliaran makin panas
Yang peerlahan meletup
Entah mungkin akan meledak
pujangga liar, 23 April 09
Ego (Tentangku)
Ketika aku
Menjadi aku
Kemudian aku
Inilah aku
Bagaimanapun juga aku
ini semua aku
kau bukan aku
ini adalah aku
ku tak mau sebut tentang kau
karna ku bukan kau
tak sedikitpun ada kau
karna memang bukan kau
tapi aku
segala aku
tentang aku
hanya aku
9-03-'09 22.53 waktu cairo
Menjadi aku
Kemudian aku
Inilah aku
Bagaimanapun juga aku
ini semua aku
kau bukan aku
ini adalah aku
ku tak mau sebut tentang kau
karna ku bukan kau
tak sedikitpun ada kau
karna memang bukan kau
tapi aku
segala aku
tentang aku
hanya aku
9-03-'09 22.53 waktu cairo
Langganan:
Postingan (Atom)